Berita Terkini

PENJAMINAN ASET DIGITAL SEBAGAI JAMINAN HUTANG PADA PERBANKAN: PROSPEK PENAMBAHAN PERTUMBUHAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA DAN PETA JALAN REGULASI (Bagian 2)

×

PENJAMINAN ASET DIGITAL SEBAGAI JAMINAN HUTANG PADA PERBANKAN: PROSPEK PENAMBAHAN PERTUMBUHAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA DAN PETA JALAN REGULASI (Bagian 2)

Sebarkan artikel ini
Aset Digital (Gambar ilustrasi)

Oleh : Dr. KRA. MJ. Widijatmoko, S.H. Sp.N 

V. PROSPEK EKONOMI DAN DAMPAK TERHADAP PERTUMBUHAN MASYARAKAT INDONESIA

A. Peningkatan Akses Kredit Produktif dan Inklusi Keuangan

Integrasi aset digital sebagai agunan akan membuka potensi ekonomi yang signifikan. Aset digital yang saat ini bersifat idle dapat diubah menjadi leverage produktif, memungkinkan 15 juta lebih investor untuk mengakses pinjaman produktif.

Dampak paling signifikan akan dirasakan oleh sektor UMKM. UMKM merupakan tulang punggung ekonomi, menyerap 97% tenaga kerja non-pertanian dan menyumbang besar terhadap PDB, namun seringkali terkendala akses ke pembiayaan formal. Dengan aset digital sebagai agunan, pemilik UMKM (terutama yang sudah melek digital) dapat menyalurkan modal untuk modal kerja atau ekspansi.

Meskipun Decentralized Finance (DeFi) secara umum berpotensi meningkatkan inklusi keuangan melalui efisiensi dan transparansi , penggunaannya juga dihadapkan pada risiko keamanan dan kesenjangan literasi digital. Oleh karena itu, jalur pembiayaan yang lebih terjamin melalui perbankan formal, dengan aset digital sebagai agunan, menawarkan alternatif yang lebih terawasi.

Penerapan kebijakan ini berfokus pada peningkatan produktivitas modal yang sudah ada (mengubah aset spekulatif menjadi modal produktif).

B. Risiko Makroekonomi dan Keberlanjutan

Pengenalan aset yang sangat fluktuatif ke dalam sistem perbankan dapat meningkatkan risiko kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL), meskipun sektor Peer-to-Peer (P2P) lending di Indonesia pada tahun 2024 mencatat NPL sebesar 3,2%. Jika aset digital diterima sebagai agunan tanpa haircut yang memadai atau mekanisme auto-liquidation yang cepat, bank dapat menanggung kerugian besar.

Untuk memastikan keberlanjutan, kebijakan harus fokus pada mitigasi moral hazard. Bank harus memastikan nasabah memahami risiko volatilitas. Selain itu, optimalisasi manfaat aset digital memerlukan sinergi antara inovasi teknologi, edukasi masyarakat, dan penguatan regulasi.

Penerapan kebijakan haruslah bertahap; memulai dengan Stablecoin teregulasi dan hanya mengizinkan aset kripto murni sebagai agunan dengan rasio Loan-to-Value (LTV) yang sangat rendah.

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN (PETA JALAN REGULASI)

A. Kesimpulan Utama

Aset digital, yang diklasifikasikan sebagai benda bergerak tidak berwujud, secara hukum de jure dapat dijadikan objek jaminan (Gadai atau Fidusia). Namun, integrasinya ke dalam perbankan formal terhambat oleh tantangan prudensial, khususnya risiko volatilitas ekstrem, kurangnya infrastruktur kustodi institusional, dan ketiadaan kepastian hukum dalam mekanisme eksekusi sita jaminan.

Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan secara signifikan melalui pemanfaatan aset digital ini sebagai leverage produktif, asalkan sistem perbankan mampu mengelola risiko dengan kerangka yang terstruktur dan berlapis, seperti yang telah dicontohkan oleh yurisdiksi internasional seperti Amerika Serikat.

B. Rekomendasi Kebijakan Spesifik untuk OJK dan Regulator Terkait

Untuk mewujudkan penjaminan aset digital yang aman dan produktif, regulator Indonesia harus
melaksanakan peta jalan kebijakan bertahap:

1. Penerbitan POJK Khusus Collateral Management Aset Digital: OJK perlu segera menerbitkan regulasi yang berfokus pada pengelolaan agunan aset digital oleh LJK. Regulasi ini harus mewajibkan bank untuk melakukan risk-weighting dan capital charge terhadap eksposur aset digital, mengadopsi standar internasional.

Harus ditetapkan kewajiban penggunaan Model Value-at-Risk (VaR) untuk menghitung haircut harian yang sangat konservatif (disarankan minimal 60% untuk aset kripto non-stablecoin).

2. Penguatan Infrastruktur Kustodi Institusional: Regulator wajib menetapkan standar ketat dan mewajibkan bank yang menerima agunan aset digital untuk menggunakan layanan Kustodian Institusional yang berlisensi OJK atau LJK yang mampu menjamin keamanan private key dan kepemilikan aset, sejalan dengan praktik bank global.

3. Kepastian Hukum Eksekusi Jaminan: Harus disusun dan ditetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) sita jaminan aset digital yang mengikat secara hukum. SOP ini harus menyinkronkan UU Jaminan Fidusia/Gadai dengan mekanisme likuidasi cepat di Pasar Fisik Aset Kripto yang berada di bawah pengawasan OJK/Bappebti untuk memberikan kepastian bagi bank sebagai kreditur.

4. Kebijakan Progresif dan Bertahap (Phased Adoption):

– Fase Awal (Risiko Rendah): Batasi penerimaan agunan pada Stablecoin teregulasi dan aset yang telah ditokenisasi, dan hanya memposisikannya sebagai agunan tambahan untuk memitigasi risiko bagi bank.

– Fase Lanjut (Ekspansi): Setelah infrastruktur dan regulasi eksekusi matang, pertimbangkan aset kripto murni sebagai agunan utama, tetapi dengan LTV yang sangat rendah, untuk mendorong leverage yang bertanggung jawab dan terkendali.

VII. PENUTUP

Integrasi aset digital ke dalam sistem penjaminan utang perbankan merupakan revolusi struktural yang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Dengan pendekatan regulasi yang hati-hati, bertahap, danberbasis manajemen risiko terstruktur, potensi kapital digital masyarakat dapat dioptimalkan menjadi daya ungkit produktif, sekaligus menjaga stabilitas sektor keuangan nasional.