
Oleh : Dr. KRA. MJ. Widijatmoko, S.H. Sp.N
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang, Konteks Digitalisasi, dan Identifikasi Masalah
Konteks ekonomi digital di Indonesia ditandai dengan pertumbuhan adopsi aset kripto yang sangat pesat. Hingga tahun 2025, jumlah konsumen aset kripto di Indonesia telah melampaui 15 juta orang, dengan nilai transaksi yang signifikan.
Data ini mengindikasikan bahwa terdapatakumulasi kapital substansial di masyarakat yang saat ini tersimpan dalam bentuk aset digital. Aset ini, yang sering kali bersifat idle atau hanya digunakan untuk tujuan spekulatif, berpotensi besar untuk dioptimalkan sebagai leverage produktif guna menunjang kebutuhan pembiayaanmasyarakat.
Meskipun potensi ekonomi digital ini tinggi, terdapat kesenjangan mendasar dalam sistem keuangan formal. Bank-bank konvensional di Indonesia saat ini tidak dapat secara eksplisit menerima aset digital (seperti aset kripto dan Non-Fungible Token atau NFT) sebagai agunan atau jaminan utang.
Hambatan ini muncul dari tingginya risiko bawaan aset digital, terutama volatilitas harga, serta ketiadaan kerangka regulasi yang memadai untuk mitigasi risiko, kustodi, dan eksekusi jaminan.
Urgensi untuk mengatasi kesenjangan ini diperkuat oleh transisi regulasi. Sesuai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), wewenang pengaturan dan pengawasan aset kripto dialihkan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Januari 2025.
Peralihan wewenang ini merupakan sinyal penting bahwa aset digital kini diakui sebagai komponen integral dari Sektor Keuangan yang membutuhkan pengawasan dengan standar stabilitas yang lebih tinggi, setara dengan perbankan dan pasar modal. Kondisi ini menciptakan momentum krusial bagi OJK untuk segera merumuskan Peraturan OJK (POJK) yang spesifik mengenai manajemen agunan dan risk weighting aset digital, melengkapi POJK 27/2024 yang telah mengatur aspek perdagangannya.
B. Tujuan Penelitian dan Signifikansi Kontribusi
Tujuan utama dari penulisan ini adalah menganalisis status hukum aset digital sebagai objek jaminan, mengevaluasi secara mendalam tantangan risiko operasional (volatilitas, kustodi, dan eksekusi), serta merumuskan model kebijakan terstruktur yang memungkinkan adopsi aset digital sebagai agunan yang aman dalam sistem perbankan.
Kontribusi penulisan ini diharapkan dapat memberikan peta jalan kebijakan yang terperinci bagi regulator Indonesia, khususnya OJK. Dengan adanya kerangka kerja yang jelas, Indonesia dapat mengoptimalkan kapital digital yang dimiliki masyarakat – yang saat ini berjumlah jutaan – untuk membiayai sektor produktif, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang merupakan pilar ekonomi nasional. Pemanfaatan aset digital sebagai agunan di bank formal dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi inklusif dan modernisasi infrastruktur finansial.
II. TINJAUAN HUKUM JAMINAN DAN KLASIFIKASI 
ASET DIGITAL
A. Landasan Hukum Jaminan di Indonesia
Sistem jaminan utang pada perbankan di Indonesia didasarkan pada prinsip kehati-hatian (prudence), sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan OJK, termasuk yang berkaitan dengan kualitas aset (misalnya POJK 40/2019 dan POJK 1/2024).
Persyaratan utama sebuah agunan agar dapat diterima oleh bank meliputi sifat tanpa syarat dan tidak dapat dibatalkan, kemampuan untuk dicairkan dalam waktu singkat (paling lambat tujuh hari kerja), serta memiliki jangka waktu yang setidaknya sama dengan jangka waktu Aset Produktif yang dijaminkan.
Secara umum, agunan terbagi menjadi dua jenis, yaitu agunan berwujud (seperti sertifikat tanah dan kendaraan) dan agunan tidak berwujud (seperti deposito, reksa dana, dan surat berharga). Sertifikat tanah dan Surat Keterangan Pegawai, misalnya, memiliki peluang tinggi disetujui sebagai agunan karena nilainya stabil atau nasabah dinilai memiliki pekerjaan yang aman.
B. Status Legal Aset Digital Pasca POJK 27/2024
Secara kerangka hukum jaminan, aset kripto diklasifikasikan sebagai benda bergerak tidak berwujud (intangible movable asset) dan juga diakui sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar fisik berjangka.
Status ini secara teoritis memungkinkan aset digital untuk dijadikan objek jaminan melalui lembaga jaminan Fidusia atau Gadai. Dalam jaminan Fidusia, aset tetap berada di bawah penguasaan debitur, sementara bank (kreditur) memiliki kedudukan yang diutamakan terhadap kreditor lainnya. Khususnya untuk aset kripto, penegasan bahwa aset tersebut dapat dijadikan objek jaminan Fidusia berlaku bagi jenis aset kripto yang telah terdaftar dan diakui oleh Bappebti.
Meskipun demikian, integrasi aset digital ke perbankan formal menghadapi tantangan regulasi perbankan. POJK 27/2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital (AKD) mendefinisikan aset kripto sebagai representasi digital dari nilai yang tidak dijamin oleh otoritas pusat seperti bank sentral.
Lebih lanjut, POJK ini secara eksplisit mengecualikan “aset keuangan yang dicatat secara elektronik oleh lembaga jasa keuangan” dari kategori AKD yang diatur untuk diperdagangkan di Pasar AKD. Pengecualian ini memiliki konsekuensi yang signifikan.
Apabila bank menerima aset kripto sebagai agunan, bank sebagai Lembaga Jasa Keuangan (LJK) akan mencatat dan mengelola aset tersebut. Oleh karena itu, kegiatan pengelolaan jaminan aset digital ini memerlukan kerangka regulasi OJK yang terpisah dan lebih ketat—berfokus pada manajemen risiko, kecukupan modal, dan pelaporan LJK—yang berada di luar regulasi perdagangan yang ditujukan bagi bursa kripto.
Hal ini menunjukkan adanya pemisahan strategis oleh OJK antara regulasi perdagangan aset digital dengan regulasi stabilitas dan manajemen aset LJK.
III. TANTANGAN KELAYAKAN DAN MITIGASI RISIKO OPERASIONAL
Aset digital, meskipun legal secara teoritis sebagai objek jaminan, menghadapi tiga tantangan
operasional utama yang menghalangi status bankability sebagai agunan utama, yaitu risiko
volatilitas, kustodi, dan eksekusi.
A. Tantangan Valuasi dan Manajemen Risiko Volatilitas Harga
Aset kripto dikenal memiliki volatilitas harga yang sangat tinggi; harganya dapat naik drastis atau turun signifikan dalam waktu singkat, menjadikannya aset berisiko tinggi. Volatilitas ini secara langsung bertentangan dengan prinsip kehati-hatian perbankan yang mensyaratkan agunan memiliki nilai yang stabil dan dapat dipastikan. Oleh karena itu, usulan menjadikan aset kripto sebagai agunan menuai pro dan kontra.
Untuk mengelola risiko ini, secara konsisten disarankan agar aset kripto hanya diposisikan sebagai agunan tambahan (additional collateral) dan bukan sebagai agunan pokok (principal collateral).
Bank harus menyiapkan mekanisme penilaian (valuation) yang matang, termasuk persyaratan margin yang ketat, untuk mengelola risiko market crash. Sistem perbankan memerlukan implementasi model Value-at-Risk (VaR) untuk menentukan nilai agunan yang diakui secara dinamis dan real-time. Penerapan haircut (pemotongan nilai agunan yang diakui) yang sangat konservatif mutlak diperlukan untuk memastikan bank terlindungi dari fluktuasi harga yang ekstrem.
B. Tantangan Kustodi (Custody) dan Infrastruktur Digital
Isu kustodi (penyimpanan dan pengamanan aset digital) merupakan prasyarat operasional yang kritis. Pengelolaan aset kripto memerlukan pengamanan private key yang andal. Risiko operasional sangat tinggi, mencakup potensi kerugian akibat peretasan, kegagalan sistem, atau penyalahgunaan dana oleh penyedia layanan penyimpanan, yang telah memicu sikap kehati-hatian (wait and see) di industri ini.
Bank diwajibkan untuk menjamin keamanan aset digital yang diterima sebagai agunan. Hal ini membutuhkan pengembangan kapabilitas Kustodian Digital Institusional (Bank Grade). Lembaga keuangan global seperti BNY Mellon dan State Street telah merespons kebutuhan ini dengan membangun platform terintegrasi yang menawarkan pengamanan (safekeeping) dan manajemen aset digital dengan skala dan keamanan tingkat institusi.
Bagi perbankan Indonesia, investasi dalam infrastruktur kustodi yang memenuhi standar OJK (keamanan, kepemilikan, dan pelaporan) harus menjadi prioritas.
Valuasi dinamis (yang diperlukan untuk mengelola volatilitas) hanya dapat bekerja efektif jika bank memiliki kontrol yang aman dan pasti atas aset yang dijaminkan. Oleh karena itu, penguatan infrastruktur kustodi institusional harus mendahului penerapan regulasi risk-weighting.
C. Tantangan Hukum dan Mekanisme Eksekusi Jaminan
Meskipun aset kripto dapat dijadikan objek jaminan Fidusia/Gadai, mekanisme eksekusi dalam kasus wanprestasi masih belum memiliki kepastian hukum yang memadai. Ketiadaan peraturan khusus dan lembaga khusus yang mengatur mengenai sita jaminan aset kripto menimbulkan kerentanan bagi bank sebagai kreditur.
Secara kerangka hukum jaminan, bank berhak mengeksekusi aset kripto melalui penjualan di bawah tangan, di mana hasil penjualan diserahkan kepada bank untuk melunasi kredit. Namun, kecepatan likuidasi yang dibutuhkan untuk mengimbangi fluktuasi harga yang tinggi menuntut adanya prosedur standar operasional (SOP) sita jaminan yang disinkronkan antara hukum perbankan dan mekanisme perdagangan di pasar fisik aset kripto (yang berada di bawah pengawasan OJK/Bappebti). Harmonisasi hukum jaminan (UU Fidusia) dengan prosedur perbankan adalah kunci untuk mencapai kepastian hukum.
IV. KERANGKA PENGELOLAAN RISIKO TERSTRUKTUR DAN PEMBANDINGAN INTERNASIONAL
A. Pendekatan Mitigasi Risiko: Stablecoin dan Haircut
Untuk mengurangi risiko volatilitas, regulator dapat menerapkan kebijakan adopsi bertahap. Aset digital yang paling stabil dan terkendali, seperti Stablecoin (SK) yang dipatok pada mata uang fiat atau aset yang didukung, menawarkan titik awal yang jauh lebih aman dibandingkan aset kripto tidak terdukung (unbacked crypto-asset).
Pasar Stablecoin global telah berkembang signifikan, bahkan melampaui Bitcoin sebagai aset pilihan transaksi sehari-hari di beberapa regional.
Mitigasi risiko utama harus difokuskan pada penerapan haircut yang sangat tinggi. Konsensus industri menunjukkan bahwa bank harus menerapkan persyaratan margin yang ketat, kemungkinan dengan haircut yang lebih konservatif.
B. Standar Manajemen Risiko Internasional
Langkah yang diambil oleh Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat memberikan acuan penting bagi Indonesia. The Fed telah secara efektif “memasukkan aset digital ke arus utama” (mainstreamed digital assets) dalam sistem perbankan AS dengan menghentikan program pengawasan aktivitas novel dan mengintegrasikan pengawasan kripto ke dalam proses standar.
Konsekuensi kebijakan ini adalah bahwa kripto kini diperlakukan sebagai agunan biasa (ordinary collateral), yang dapat digunakan untuk pinjaman, repo, dan manajemen likuiditas.
Aset kripto, seperti Bitcoin, dikenakan risk-weighting standar. Kerangka manajemen risiko AS mengharuskan bank menggunakan alat-alat yang sudah ada, seperti model Value-at-Risk (VaR), skenario stres (stress scenarios), dan panggilan margin (margin calls), yang diterapkan dengan haircut yang konservatif untuk mengelola volatilitas. Mengadopsi arsitektur risiko yang serupa (VaR, stress test) memungkinkan bank Indonesia beroperasi dalam bahasa risiko yang dipahami secara internasional, yang secara substansial dapat meningkatkan kepercayaan institusional bank domestik dan mempercepat proses regulasi.
C. Tokenisasi Aset dan Pelajaran dari Singapura
Pendekatan bertahap yang berfokus pada tokenisasi aset juga dapat dipelajari dari Singapura. Bank sentral Singapura (MAS) telah mengembangkan program percontohan untuk tokenisasi aset, seperti obligasi pemerintah, bekerjasama dengan lembaga keuangan besar.
Singapura dikenal memiliki kerangka kerja regulasi aset digital yang komprehensif dan jelas, yang telah
memberdayakan investor dan pelaku industri. Indonesia dapat memanfaatkan model tokenisasi sebagai langkah transisional yang memiliki risiko lebih rendah daripada menerima kripto murni yang sangat fluktuatif sebagai agunan pokok. Tokenisasi aset tradisional yang dicatat oleh LJK akan membangun kapabilitas digital bank sekaligus menumbuhkan kepercayaan regulator dan pasar.
bersambung bagian 2……….

									










